Melihat Evolusi Gerakan Sosial di Fenomena Bencana Lumpur Panas Lapindo

lumpur lapindo

Bencana lumpur panas yang disebabkan oleh PT Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo telah berlalu selama 15 Tahun terhitung sejak 2006. Selama itu, titik temu dari penyelesaian konflik yang terjadi belum juga ada.

Konflik yang terjadi tidak hanya mengenai kerusakan lingkungan, tapi lebih dari itu seperti, konflik horizontal antar kelompok masyarakat, problem ekonomi warga, kerusakan fasilitas umum dan potensi kerugian negara menjadi hal yang tak terelakan.

Data yang dirilis oleh BPLS tahun 2013, bencana lumpur menggenangi sebanyak 12 desa yang terletak di kecamatan Tanggulangin, Porong dan Jabon. Banyak warga yang harus menanggung penderitaan dan perlakuan ketidakadilan.

Sejak awal pengungsian masyarakat yang menjadi korban lumpur tidak mendapatkan tempat yang layak yang disediakan oleh PT. Lapindo seperti makan, tempat tidur dan kamar mandi umum. Hal ini kemudian yang coba direspon oleh pihak korporasi terkait tuntutan dan protes dari masyarakat, kemudian pihak korporasi mulai menyediakan tempat pengungsian yang layak.

Sayangnya, janji yang diberikan oleh PT. Lapindo tidak pernah ditepati dan membuat lambatnya penanggulangan bencana membuat masyarakat geram.

Salah kaprah penanganan
penanggulangan yang salah dan memang ada kesengajaan memperlambat dan membuat rawan terjadinya konflik horizontal antar desa yang terdampak semburan lumpur.

Lapindo memang sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah dalam hal eksplorasi sumber daya alam tersebut, juga sudah berkoordinasi dengan warga di tiga kecamatan yang salah satunya Kecamatan Tanggulangin.

Tapi kembali lagi, ganti rugi lahan korban lumpur masih jadi masalah berbelit. Supaya lebih bijak, saya ingin mengajak pembaca Indeksnesia.com untuk melihat masalah ini dengan sedikit ilmiah. Karena saya meyakini, menyentuh persoalan dengan ilmu jauh lebih baik, dari pada anggapan kosong yang menghabiskan tenaga.

Gerakan Sosial
Dalam gerakan sosial terdapat evolusi gerakan, dari yang mulanya sebagai tindakan kolektif berubah menjadi kelompok kepentingan (interest group). Misal, lambatnya penanganan yang diberikan tim penanggulangan lumpur terhadap pengungsi, menyebabkan muncul banyak sekali protes.

Dari mulai tempat pengungsian yang tidak layak, sampai makanan yang disediakan sudah busuk membuat para korban bertindak secara kolektif dalam memprotes dan menuntut keadilan haknya. Bahkan, ada Perpres Nomor 14 Tahun 2007 yang mengatur tentang status ganti-rugi menjadi jual-beli hubungan antara pihak korporasi menjadi pembeli dan korban lumpur menjadi penjual.

Herbert Blumer mendefinisikan perilaku kolektif dengan merujuk pada proses sosial dan peristiwa yang tidak mencerminkan struktur yang ada baik itu lembaga hukum atau politik (Lihat: Sukmana, 2016). Dalam kasus Lapindo ini berbagai permasalahan yang di rasakan masyarakat tersebut mendorong adanya perilaku kolektif dari masyarakat sekitar untuk melawan status quo atau ketertindasan yang dialami mereka.

Sementara untuk evolusi yang terjadi kelompok yang muncul tersebut berubah menjadi kelompok kepentingan (interest group). Berdasarkan tipologinya bisa dikategorikan kelompok kepentingan yang muncul dalam masyarakat korban lumpur Lapindo adalah model kelompok kepentingan anomik.

Kelompok kepentingan ini hanya muncul atas adanya isu tertentu dan lebih pada orientasi tujuan jangka pendek minimal sampai kepentingannya sudah terpenuhi.

Keadilan John Rawls memandang Lapindo, Dari perspektif teori keadilan politik yang dikemukakan John Rawls argumentasinya jelas bahwa keadilan yang dilahirkan oleh institusi atau negara berupa kebijakan harus menjamin hak-hak setiap warganya. Lebih penting lagi, keadilan itu harus memberi jaminan dan perlindungan pada kelompok – kelompok masyarakat yang kurang beruntung.

Disini jelas Perpres Nomor 14 Tahun 2007 tersebut yang mengatur tentang status ganti-rugi lahan dari korban lumpur Lapindo menjadi hubungan jual-beli antara warga dan pihak korporasi belum sepenuhnya menjadi instrumen keadilan yang tepat.

Aturan itu juga mengatur tentang mekanisme pembayaran yang dilakukan, misalnya pembayaran menggunakan sistem mencicil dari pihak korporasi. Proses lain yang dilakukan oleh pihak korporasi adalah tidak mengakui sertifikat tanah selain SHM/IMB sehingga warga yang memiliki sertifikat petok D dan letter C. Mengetahui bahwa ada 800 berkas di Desa Jatirejo dan hanya 10 orang saja yang memiiki IMB (Lihat: Sukmana, 2017, hal. 158).

Dari sekian ungkapan-ungkapan itu, tentunya sangat tidak relevan jika Undang-Undang yang semestinya beri keadilan, pada realitanya masih belum berfungsi maksimal.

Andyan Zamrud
Alumni Ilmu Politik Unair